Melampaui Machiavelli

Anggapan bahwa “tujuan menghalalkan cara” adalah sebuah situasi dan jika ingin diwujudkan harus dilakukan dengan pemikiran dan logika yang jernih.

Jika saat ini masih ada penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, terutama dalam rangka mempertahankan kekuasaan, maka mereka sudah melampaui Medici dalam imajinasi Machiavelli.

Ini salah satu kesimpulan saya dari Ethics of Machiavelli (2009) dan Machiavelli’s Prince (2014). Dalam kedua karyanya, Erica Brenner, ilmuwan politik dari Yale University, mengajak kita merekonstruksi pandangan kita terhadap Machiavelli.

Saya akan merekomendasikan kedua karya ini kepada pembaca dan informan yang akhir-akhir ini kecanduan meninggalkan proses dan pola serta terobsesi pada hasil akhirnya.

Dalam penafsiran Brenner, penggunaan dialek dalam tulisan Machiavelli seperti The Art of War, The Discourses, The Prince and the Florentine Stories (2009: 341-42) penting untuk dipahami.

Machiavelli biasanya memulai dengan pernyataan yang seolah membenarkan “akhir” sebagaimana kemenangan, keamanan, atau kebebasan dapat dibenarkan.

Kebanyakan pembaca sering salah mengartikannya dengan mengabaikan prinsip, nilai dan etika dalam mencapai tujuan tertentu.

Padahal, Machiavelli selalu menguji pernyataan tersebut dengan memaparkan beberapa kasus beserta alasannya.

Menurut Brenner, di sini Machiavelli membuka “tempat” bagi para pembacanya untuk merenungkan pernyataan tersebut.

Proses dialektis diakhiri dengan kesimpulan Machiavelli dengan refleksi yang menegaskan atau membenarkan keakuratan pernyataan tersebut.

Namun perlu ditegaskan, Machiavelli selalu melalui proses kedua. Lebih lanjut, Brenner menemukan bahwa tidak semua pernyataan ditegaskan kembali oleh Machiavelli.

Secara keseluruhan, tanpa melalui proses refleksi kritis, sebagian besar pembaca Machiavelli selalu terjebak dengan tipu muslihat sang “Pangeran”. Mengenai selesainya sertifikasi media

Machiavelli sendiri skeptis terhadap pendekatan “ujung jalan”. Dalam “Logo” Machiavelli mengingatkan kita akan keberadaan penguasa, yang ia tunjukkan “buta” dan “tuli” jika bertindak berdasarkan hasil akhir.

Bagi Machiavelli, prinsip ini tidak masuk akal. Di mana pun hasil selalu merupakan akhir dan manajer merasa sulit memilih cara yang tersedia untuk menilai hasil akhir karena keterbatasan pengetahuan dan kebijaksanaannya.

Makanya dia menekankan agar manajer bertanya dan mendengarkan bisikan Anda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top