Demokrasi Indonesia Dirusak Elite, Diselamatkan Mahasiswa dan “Civil Society”

Sejarah demokrasi Indonesia selama 79 tahun sejak kemerdekaan penuh dengan pasang surut. Sayangnya, pelaku perusak demokrasi selalu adalah para elit politik yang tidak pernah mau mengambil pelajaran dari sejarah.

Misalnya saja mempelajari sejarah jatuhnya Ir.Soekarno, sejarah jatuhnya Soeharto, sejarah jatuhnya Gus Durin, atau sejarah jatuhnya SBY terkini dan sejarah jatuhnya Jokowi terkini.

Kini, dalam lima tahun terakhir, elite politik berkali-kali menggerogoti demokrasi, hingga yang terbaru adalah upaya DPR untuk “menumbangkan” Dewan Konstitusi ke-60 dan ke-70 Tahun 2024 tentang Demokrasi dan Konstitusi. Elit menghancurkan demokrasi

Jika kita analisa dari sudut pandang teori tinggi dan aktor politik, kita bisa melihat perilaku elit politik Indonesia dari masa lalu, sistem baru dan sistem reformasi hingga saat ini.

Secara umum, kelompok politik Indonesia ‘Aji Mambung’ dapat dikatakan mudah terjebak dalam perangkap ambisi politik, politik kartel, nepotisme, dan oligarki.

Selama dia kuat, dia akan melakukan apa saja demi kekuatannya. Alih-alih kekuasaan, mereka percaya bahwa kekuasaan bisa membeli segalanya.

Untuk melanjutkan kekuasaannya, anak, menantu, dan kerabatnya harus bersiap memasuki posisi politik baru untuk melanjutkan kekuasaan atau mengkonsolidasikan kekuasaannya. Meski merupakan rezim politik baru, namun ketundukan mereka kepada elite cukup mengejutkan.

Perpaduan teori ketika membaca politik Indonesia, misalnya, adalah puncak otoritarianisme, oligarki, neo-otoritarianisme, dan kleptokrasi dalam lima tahun terakhir.

Menurut KL Scheppele dalam artikelnya yang berjudul Authoritarian Legislation (2018), ia mengatakan bahwa otoritarianisme terjadi ketika penguasa menggunakan hukum untuk mencapai tujuannya, meskipun tirani mungkin tidak terlihat pada awalnya.

Meski kekuasaan awalnya dipilih secara demokratis, lama kelamaan penguasa memanfaatkan hukum untuk kepentingan kepentingan kekuasaan. Bukan demi membangun demokrasi, tapi demi kebaikan masyarakat secara umum.

Perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2019, Perpu Omnibuslaw UU Cipta Kerja Tahun 2020, Keputusan MK No. 90 Tahun 2023, Putusan Mahkamah Agung No. 23 Tahun 2024, ingin menerima DPR membatalkan keputusan MK no. 60 dan tidak. 70 adalah contoh sistem otoritas hukum.

Menurut Geoffrey A. Winters, dalam bukunya Oligarchy (2012) menjelaskan bahwa oligarki politik selalu menggunakan perlindungan kekayaan untuk tujuan campur tangan dan penguasaan kekuasaan.

Parahnya, penguasa menikmati jabatan tersebut karena kekayaannya yang besar. Situasi ini sedang terjadi di Indonesia.

Pada tahun 2020, John Keane menulis buku berjudul The New Despotism (2020). Dalam buku tersebut, Keane menjelaskan bahwa demokrasi semu dipimpin oleh penguasa yang memiliki kemampuan mengontrol dan mencampuri warga negara.

Yang lebih parah lagi, meskipun demokrasi artifisial itu ada, hanya sedikit orang yang mendukungnya karena ketidaktahuan atau di bawah bayang-bayang penindasan. Sudah seperti itu selama lima tahun terakhir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top