Korupsi di Tengah Kesejahteraan Abdi Negara

“Korupsi terjadi ketika suatu kebutuhan mendesak bertemu dengan peluang untuk bertindak melawan hukum. Hubungan antara kebutuhan, peluang, dan kekuasaan berperan penting dalam munculnya korupsi.” – Robert Klitgaard (1988) dalam bukunya “Controlling Corruption”. Pers Universitas California.”

Menurut Robert Klitgaard, korupsi terjadi ketika seseorang dihadapkan pada kebutuhan mendesak dan peluang untuk bertindak di luar batas hukum.

Dalam situasi seperti ini, hubungan antara kebutuhan mendesak, peluang yang ada, dan kekuasaan individu dapat menjadi faktor utama terjadinya korupsi.

Ketika individu berada dalam situasi di mana kebutuhan hidup mereka sangat mendesak, seperti gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar, mereka mungkin merasa tertekan untuk mencari solusi alternatif, bahkan jika solusi tersebut melibatkan tindakan ilegal.

Apalagi jika ada akses atau peluang untuk melakukan perbuatan melawan hukum, misalnya menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, maka godaan untuk melakukan korupsi sangat kuat.

Situasi ini sangat relevan dengan situasi pegawai negeri (PNS), anggota TNI, dan kepolisian saat ini.

Secara sosiologis, mereka mengalami tantangan yang cukup besar dalam hal kesejahteraan ekonomi. Inflasi yang terus meningkat dan harga kebutuhan pokok yang melonjak membuat gaji mereka semakin tidak mencukupi.

Peningkatan tajam biaya hidup, termasuk pendidikan, menambah beban keuangan mereka.

Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai program bantuan seperti Tabungan Masyarakat untuk Perumahan (TAPERA), namun banyak di antaranya yang justru memperburuk kondisi keuangan pegawai negeri sipil.

Program-program ini mungkin dirancang dengan niat baik, namun hasilnya seringkali tidak sesuai harapan dan justru membebani mereka.

Dalam situasi seperti ini, kemungkinan terjadinya korupsi semakin besar. Kebutuhan mendesak dan peluang untuk bertindak melawan hukum dapat memicu perilaku tidak etis.

Saat ini belum ada aturan yang secara khusus melarang PNS memiliki usaha. Undang-Undang Kepegawaian (UU ASN) dan peraturan lain yang mengatur tentang pengelolaan pegawai negeri tidak melarang PNS menjalankan usaha sampingan.

Pembatasan ini ada di masa lalu, yaitu. J. sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) no. 6 Tahun 1974 yang melarang pegawai negeri sipil melakukan kegiatan usaha sekunder di luar pelaksanaan fungsi negara. Namun aturan ini dibatalkan dan diganti dengan PP no. 94 Tahun 2021.

Melalui PP baru ini, pemerintah Indonesia juga mendorong PNS untuk menjadi wirausaha. Pemerintah telah mencatat banyak manfaat yang dapat diperoleh pegawai negeri dengan terlibat dalam kegiatan kewirausahaan, seperti peningkatan keterampilan, kesejahteraan, dan inovasi.

Meski tidak ada batasan resmi, namun beban kerja dan tanggung jawab yang harus diemban ASN seringkali menyulitkan mereka dalam menjalankan tugas-tugas sekunder.

Keadaan ini menjadikan gaji sebagai satu-satunya sumber pendapatan yang menjadi tumpuan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.

Jika ASN (PNS dan PPPK) tidak mempunyai usaha sampingan yang dilarang, lain halnya dengan anggota TNI dan Polri.

Bagian 5 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 dan Pasal 39 UU TNI melarang keras anggota TNI dan Polri melakukan usaha sampingan. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menjaga integritas dan profesionalisme mereka.

Namun, jika gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan pokok, maka larangan tersebut bisa jadi tidak realistis dan bahkan bisa berujung pada pelanggaran. Korupsi dan Kemakmuran: Perspektif Akademik

Dalam bukunya Controlling Corruption (1988), Robert Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi terjadi ketika ada peluang untuk bertindak secara ilegal dalam memenuhi suatu keharusan.

Klitgaard menguraikan hubungan antara kebutuhan, peluang dan kekuasaan dalam konteks korupsi.

Menurutnya, korupsi terjadi ketika seseorang merasa tidak ada pilihan lain selain memenuhi kebutuhannya yang mendesak, padahal ada peluang untuk bertindak di luar hukum.

Ia merumuskan model sederhana yang dikenal dengan “Korupsi = Monopoli + Kebijaksanaan – Akuntabilitas”.

Artinya monopoli kekuasaan oleh individu atau kelompok, kebebasan bertindak tanpa pengawasan, dan kurangnya akuntabilitas berujung pada korupsi.

Misalnya, seorang pejabat pemerintah yang mempunyai kewenangan tunggal untuk memberikan izin tertentu tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, mudah terjerumus ke dalam korupsi jika merasa terbebani oleh kepentingan pribadi.

James S. Coleman dalam bukunya Foundations of Social Theory (1990) juga menyatakan bahwa korupsi merupakan akibat dari keputusan individu yang rasional.

Jika seseorang merasa bahwa manfaat dari perilaku korupsi lebih besar daripada risikonya, dan jika mereka dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak atau insentif yang kuat, mereka mungkin memilih untuk melakukan korupsi.

Coleman menggunakan teori pilihan rasional untuk menjelaskan bagaimana individu mengambil keputusan berdasarkan perhitungan biaya-manfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top