Soal DPR Revisi UU Pilkada, Pakar BRIN: Produk Gagal Demokrasi

JAKARTA, virprom.com – Politisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mendukung revisi undang-undang pilkada menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dinilai sebagai produk demokrasi yang gagal.

“Dari eksekutif hingga legislatif, saya sebenarnya menduga mereka mungkin produk demokrasi yang gagal,” kata Prof Firman Noor dalam program ngobrol di ruang redaksi virprom.com, Rabu (21/8/2024).

“Karena menimbulkan pola pikir, perilaku yang anti demokrasi,” lanjut Firman.

Menurut Firman, jika DPR sudah memahami posisinya dalam konsep Triaspolitika tentang pembagian kekuasaan dan prinsip demokrasi, maka drama revisi UU Pilkada pasca putusan MK tidak akan terjadi.

Baca juga: Kondisi Indonesia Kritis, 120 Guru Besar UI Minta KPU Ikuti Putusan MK Soal Pilkada

“Jika demokrasi adalah penyaluran aspirasi masyarakat dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil pilihan yang terbaik, paling beragam, dan terbaik, maka itu adalah kebalikan dari semangat itu, semangat demokrasi,” kata Firman.

Firman menilai, sikap DPR tersebut menunjukkan tidak peduli terhadap kepentingan rakyat atau sama sekali tidak melindungi aspirasi dan kepentingan rakyat, serta mengesampingkan pendidikan politik yang seharusnya menjadi teladan dan masyarakat yang matang.

Intinya mereka lebih mementingkan diri sendiri, lebih mementingkan kelompoknya, sehingga semakin masif kartelisasi politik di Indonesia yang berkolaborasi dengan oligarki untuk kepentingan jangka pendek, kata Firman.

“Tidak membangun pendidikan politik yang baik dan peradaban politik yang baik bagi seluruh masyarakat,” lanjut Firman.

Baca Juga: Soal Revisi UU Pilkada, Muhammadiyah: DPR Jangan Beda dan Langgar Putusan Mahkamah Konstitusi

Firman menjelaskan, sikap DPR yang merevisi UU Pilkada untuk menghindari keputusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas pencalonan kepala daerah menunjukkan ada hal-hal yang diabaikan dalam praktik demokrasi di Indonesia.

Menurut Firman, Indonesia sebenarnya dibangun dengan semangat kedaulatan rakyat demi kesejahteraan bersama.

“Kedaulatan rakyat. Artinya semangat demokrasi, bukan semangat oligarki, tapi apa yang ditunjukkan para politisi saat ini sangat bertentangan dengan apa yang ingin diwariskan oleh para founding fathers bangsa, ”kata Firman.

Pada Selasa (20 Agustus 2024), Mahkamah Konstitusi memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi 25 persen dari perolehan suara partai politik/perkumpulan partai hasil pemilu legislatif DPRD sebelumnya dan 20 persen suara DPRD. kursi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyebutkan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik sama dengan pencalonan kepala daerah melalui jalur independen/perseorangan/non-partai, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Baca juga: Keputusan MK Dibatalkan DPR, Iluni FH UI: Rusaknya Demokrasi

Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sebelumnya tak punya partai politik dengan perolehan suara 20 persen di Pileg DPRD DKI Jakarta, otomatis punya harapan.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, syarat pencalonan gubernur Jakarta hanya membutuhkan 7,5 persen suara pada pemilu parlemen sebelumnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top