Kegagalan Anies “Nyagub”, Dilema PDI-P, dan Tantangan Demokratisasi

Ada dua peristiwa politik penting menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024.

Pertama, tidak disetujuinya DPR atas perubahan UU Pilkada yang isinya melenceng dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, Anis Baswedan yang tidak bisa mencalonkan diri sebagai gubernur di Jakarta.

Kedua peristiwa ini menunjukkan realitas politik terkini. Ini adalah pencapaian demokrasi kita. Ada tantangan dalam perjuangan memajukan demokrasi. Dan menurut saya konflik tidak akan berhenti. Konflik ini berfungsi untuk membentuk realitas politik lainnya. Menghirup udara segar

Sebelum mendaftar Pilkada 2024, MK mengambil dua keputusan yang menjadi angin segar bagi demokratisasi di Indonesia. Keputusan ini diambil terkait kasus Partai Buruh dan Partai Gelora yang bertentangan dengan UU Pilkada.

Pertama, Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Persyaratan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik (parpol) atau gabungan partai politik sesuai dengan persentase dukungan terhadap calon perseorangan di masing-masing daerah. Batasan 20 persen kursi atau 25 persen suara sah pemilu anggota DPRD dihapuskan.

Keputusan ini tentu akan menguntungkan partai politik. Tidak hanya partai politik peserta pemilu nonparlemen 2024 saja, partai politik juga meraih kursi di DPRD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Dengan keputusan ini, partai politik bisa mengusung calon kepala daerah tanpa harus mencari aliansi. Diharapkan masyarakat bisa memilih calon pemimpin alternatif.

Berbeda dengan aturan sebelumnya. Partai politik terjebak dalam strategi federasi. Strategi ini mungkin akan menutup pintu bagi partai politik lain. Akhirnya rakyat tidak mendapatkan alternatif calon pemimpin. Alternatifnya adalah kotak kosong.

Kedua, Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Mahkamah Konstitusi memutuskan menetapkan usia minimal calon kepala daerah adalah 30 tahun untuk wakil gubernur dan 25 tahun untuk wakil kepala daerah dan wakil walikota.

Titik penghitungan usia minimal ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari penetapan pasangan calon. Bukan pada saat pelantikan sesuai Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024.

Keputusan tersebut tentu merugikan Kesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang sedang bersiap mendaftarkan diri sebagai calon gubernur/wakil gubernur menyusul putusan MA.

Mengikuti jejak kakaknya yang sukses di Pemilihan Presiden (Pilpress) 2024, keinginannya untuk memerintah di tingkat provinsi kandas. Berdasarkan putusan MK, Kaesang dibatasi usia.

Namun keputusan ini memberikan kepastian hukum yang awalnya dimanipulasi untuk tujuan nepotisme. Kepastian hukum sangat penting bagi perkembangan demokrasi.

Apa yang terjadi dengan kedua keputusan MK tersebut? Aneh namun nyata, putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi angin segar bagi demokratisasi justru disabotase oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Usai Mahkamah Konstitusi membacakan putusannya, Badan Legislasi DPR (BALEG) mendadak heboh untuk melakukan perubahan UU Pilkada.

Perubahan ini tidak menegaskan relevansi putusan Mahkamah Konstitusi, malah justru merupakan cara penolakan. Baleg DPR tampak sangat yakin DPR akan disetujui melalui rapat lengkap yang digelar keesokan harinya.

Partai politik yang mempunyai kursi di DPR (kecuali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P) tampaknya membiarkan rencana Baleg berhasil. Mereka memberikan kesan bahwa sang penyanyi tidak memperhatikan orang-orang yang duduk diam kali ini.

Apa kelemahan partai politik kita? Padahal, putusan MK menguntungkan partai politik secara keseluruhan. Partai politik seolah tidak berdaya karena kepentingannya terhambat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top