Alasan MK Ubah Ambang Batas Pencalonan Pilkada, demi Keadilan dan Cegah Calon Tunggal

JAKARTA, virprom.com – Mahkamah Konstitusi (CJ) merevisi ambang batas pencalonan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).

Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan Pasal 40 ayat 3 UU tanggal 10/2016 inkonstitusional. Berdasarkan pasal tersebut, hanya partai politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dapat mengikuti pemilu. dapat mencalonkan manajer regional.

“Permohonan para pemohon dikabulkan sebagian. Ayat (3) Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo. /2024) sebagai gantinya.

Diketahui, Putusan MK Nomor 60, sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait uji materi yang menentukan syarat Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada tanggal 10 Tahun 2016, adalah peraturan pengajuan Pilkada, calon pimpinan partai politik atau gabungan partai politik disetujui.

Baca Juga: MK Minimalkan Calon Perorangan di Pilkada, Parpol Tanpa Kursi DPRD Bisa Usulkan Calon Terbaik Daerah

Oleh karena itu, partai politik (partai politik) atau gabungan partai politik peserta pemilu dan mempunyai suara sah dapat mengajukan calon ketua daerah tanpa ikut serta dalam DPRD.

Kemudian ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik tidak lagi 25 persen dari perolehan suara pemilu anggota DPRD atau 20 persen kursi DPRD.

Pengadilan menyeimbangkan persentase permintaan calon pemimpin daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan persentase dukungan yang dibutuhkan bagi calon perseorangan.

Oleh karena itu, Pasal 40 ayat 1 dianggap inkonstitusional apabila tidak dimaknai “partai politik peserta pemilu atau perkumpulan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi syarat sebagai berikut: calon gubernur dan calon gubernur. kedudukan calon wakil gubernur: Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu di provinsi dengan syarat jumlah penduduk sebanyak-banyaknya 2 juta orang dalam daftar pemilih tetap harus memperoleh sekurang-kurangnya 10 persen dari suara sah dalam pemilu. provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai dengan 6 juta jiwa dalam daftar pemilih tetap, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 8,5 persen suara sah di provinsi yang jumlah penduduknya berjumlah 2 juta jiwa. apabila daftar pemilih tetap berjumlah lebih dari 6 juta orang sampai dengan 12 juta orang, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu di provinsi dengan jumlah pemilih tetap terbanyak wajib memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen. Partai atau perkumpulan partai politik yang memiliki lebih dari 12 juta orang politik yang berpartisipasi dalam pemilu harus memperoleh setidaknya 6,5 ​​persen suara sah di seluruh negeri.

Untuk mengusulkan bakal calon kabupaten, calon wakil, calon walikota, dan calon wakil walikota: Daerah/kota yang daftar pemilih tetap berjumlah 250.000 jiwa, partai politik, atau gabungan partai politik peserta pemilu yang mempunyai jumlah penduduk 250.000 sampai dengan 500.000 jiwa. daftar pemilih tetap partai politik atau kesatuan partai peserta pemilu wajib mengumpulkan sekurang-kurangnya 10 persen suara sah di daerah/kota mandiri, daerah/kota mandiri tersebut. Untuk mencapai minimal 8,5 persen pada daerah/kota mandiri yang memiliki daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai peserta pemilu harus memperoleh suara sah minimal 7,5 persen. Pada kabupaten/kota yang “memiliki jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa dalam daftar pemilih tetap”, partai politik atau gabungan partai peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 6,5 ​​persen suara sah di kabupaten/kota tersebut. .”

Baca Juga: Panitia Pusat Ubah Ambang Batas Daerah DKI, Ambang Batasnya 7,5 Persen

Lantas apa alasan Mahkamah Konstitusi mengubah aturan dan ambang batas pencalonan bupati pada pilkada? Mewujudkan pemilu daerah yang demokratis

Dalam sidang tersebut, Mahkamah menilai norma yang diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah diselenggarakan secara demokratis. .

Ayat 3 Pasal 40 berbunyi: “Apabila suatu partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan untuk memperoleh sekurang-kurangnya 25 persen dari jumlah suara sah pasangan calon dengan menerapkan ketentuan ayat (1), maka hal itu berlaku. ketentuannya hanya berlaku bagi partai politik yang pernah mengikuti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

“Adanya aturan tersebut jelas membatasi pelaksanaan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang mempunyai suara sah dalam pemilu meskipun tidak mempunyai mandat di DPRD. “Hal ini membatasi terjadinya pemilihan kepala daerah secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Hakim Konstitusi Annie Nurbaningsih.

Pasalnya, keberadaan Pasal 40 ayat (3) yang mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus mendapatkan mandat DPRD sebelum mengajukan pasangan calon pimpinan daerah, dianggap menjadi penyebab hilangnya suara sah politisi. pesta. Padahal, Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 mengamanatkan pemilihan kepala daerah yang demokratis.

Baca Juga: MK Minimalkan Calon Perorangan di Pilkada, Parpol Tanpa Kursi DPRD Bisa Usulkan Calon Daerah Terbaik. Minimalkan kandidat individu

Mahkamah kemudian menafsirkan pengertian pilkada demokratis sebagai kesempatan bagi seluruh partai politik yang mempunyai suara sah dalam pemilu untuk mengajukan calon peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. untuk Bupati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top