Sidang MK, Pakar: Pemerintah Pusat Cuma Mau Pajak yang Gemuk, yang Kurus untuk Pemda

JAKARTA, virprom.com – Zohermansyah Johan, pakar riset lokal independen, mengkritisi cara pemerintah daerah menjalin hubungan keuangan dengan pemerintah daerah (Pemda).

Guru besar yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini menilai pemerintah daerah berada dalam situasi yang tidak adil karena “pemerintah pusat tidak mau membagi pajak yang besar”.

“Dia mengambil pajak yang gemuk, pajak daging. Pajak yang ramping yang tidak terlalu produktif diberikan kepada pemerintah daerah,” kata Johan selaku ahli yang hadir dalam sidang konstitusi. Keputusan (MK) pada Rabu (28/8/2024) akan menaikkan tarif pajak hiburan sebesar 75 persen.

Akibatnya, sangat sedikit daerah yang mencapai kemandirian finansial, katanya.

Baca Juga: 11 Cara Wajib Pajak Mengisi NPWP Secara Online, Dari Rumah

Dari 546 kabupaten/kota yang tersebar di tanah air, hanya 3 (0,549 persen) yang mandiri, yakni Kabupaten Badung, Kota Tangsel, dan Kota Surabaya.

Provinsi dan kota lain di Indonesia bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.

“Itu tidak baik. Tanpa dana transfer, banyak tempat yang berhenti bekerja, tapi bangkrut,” kata Johan dalam sidang perkara nomor 19, 32, dan 32/ VOLUME-XXII/2024.

Ada ketidakadilan dalam kebijakan. Hubungan keuangan pusat dan daerah tidak tepat dan tidak setara, lanjutnya.

Ia mencontohkan, sementara pemerintah pusat telah memberikan 32 pekerjaan umum kepada pemerintah daerah, mulai dari pembangunan publik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Praktik keagamaan.

Baca Juga: PHRI Tegaskan Diskriminasi Tarif Pajak Hiburan

Banyaknya penugasan pekerjaan umum terlihat dari jumlah ASN yang disalurkan ke pemerintah daerah mencapai 78 persen dari total jumlah ASN.

Namun, remitansi ke suatu negara hanya memakan sekitar 30 persen APBN setiap tahunnya. Sisanya sebesar 70 persen masuk dalam Rencana Strategis Nasional (PSN).

Namun Pendapatan Pokok Daerah (PAD) pemerintah daerah yang diperoleh melalui berbagai kebijakan tetap dibukukan oleh pengusaha daerah.

Rata-rata pemerintah daerah penuh dengan uang di sektor publik yang ditugaskan padanya, seperti terlihat pada kasus penangguhan pegawai ASN (TPP) untuk menambah penghasilan, banyak jalan daerah yang rusak, minimnya pembangunan jalan oleh kota. pemerintah, atau pengairan deras oleh pemerintah kabupaten,” ungkapnya.

Sayangnya pemerintah tidak adil, terlihat dari kasus PBJT (pajak barang/jasa apa pun) untuk layanan hiburan khusus, kata Johan.

Persoalan kenaikan “pajak hiburan” muncul dari revisi UU No.

Baca Juga: MK Anggap Pajak Hiburan Mahal, Info: Spa Itu Hak Asasi Manusia

Lima layanan terkait sektor hiburan khusus yakni karaoke, bar, klub malam, diskotik, dan spa saat ini dikenakan pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.

Penetapan tarif pajak untuk kategori pelayanan di atas berada di tangan pemerintah daerah pada kisaran 40-75 persen.

Johan khawatir kebijakan yang menurutnya tidak memberikan fleksibilitas kepada pemerintah daerah akan membuat perusahaan gulung tikar dan menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat serta mulai meninggalkan bisnis hiburan legal.

Ada juga keberatan dari staf spa. Bukan hanya karena tarif pajak yang tinggi, namun juga di sektor perhotelan, termasuk spa sebagai salah satu layanan kesehatan, dinilai tidak tepat. Dengarkan berita dan pilihan cerita kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk bergabung dengan saluran WhatsApp virprom.com: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan aplikasi WhatsApp sudah terinstal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top