Dilema PKB, PKS, dan NasDem: Antara Kekuasaan dan Idealisme

Mendekati pemilu tahun 2024, pertaruhan bagi demokrasi sangatlah besar. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang sebelumnya mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden pada pemilu 2024, kini tampak siap mengalihkan dukungannya ke Indonesia maju. Koalisi (KIM) “Plus” yang sedang berkuasa.

Perubahan afiliasi ini mungkin mengecewakan para pendukung mereka dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia.

Transformasi serupa juga terlihat pada Pilgub DKI Jakarta 2024, di mana Anies, mantan Gubernur Jakarta yang dikenal sebagai tokoh reformasi politik, awalnya mendapat dukungan kuat dari partai-partai tersebut.

Upaya Anies ditujukan untuk menantang struktur kekuasaan yang sudah mapan.

Namun, jika partai-partai tersebut pindah ke koalisi KIM “Plus” maka hal itu dapat meminggirkan Anies, membatasi pilihan pemilih, dan meredam semangat persaingan demokratis.

Pencalonan Anies bukan sekedar ambisi pribadi, namun mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas terhadap kerangka politik saat ini.

Aliansi dengan PKB, PKS dan NasDem melambangkan upaya kolektif untuk melakukan reformasi. Sekalipun partai-partai tersebut memperoleh dukungan pemilih melalui sikap oposisi mereka, potensi peralihan ke pemerintahan koalisi mungkin menandakan peralihan dari kompromi ke perubahan menuju kemanfaatan politik jangka pendek.

Perubahan ini akan berdampak besar pada proses demokrasi di Indonesia. Demokrasi membutuhkan oposisi yang kredibel: sebuah keseimbangan yang dapat membuat mereka yang berkuasa bertanggung jawab dan menawarkan pilihan nyata kepada pemilih.

Tanpa adanya oposisi, pemilu hanya akan menjadi formalitas belaka, hanya sekedar stempel atas keputusan-keputusan yang sudah berkuasa.

Jika PKB, PKS, dan NasDem memutuskan untuk bergabung dengan KIM, maka pemilu 2024 berisiko hanya menjadi sekedar latihan tanpa persaingan berarti yang merupakan ciri demokrasi sejati.

Saat ini, satu-satunya oposisi mungkin adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Namun posisinya sebagai partai oposisi di pemerintahan Prabowo patut dipertanyakan.

Posisi PDI-P sepertinya bergantung pada pengaruh Jokowi di pemerintahan ini. Jika pengaruh Jokowi berkurang, PDI-P mungkin mempertimbangkan untuk bergabung dengan pemerintah.

Daya tarik untuk bergabung dengan koalisi pemerintah sangatlah nyata. Janji kekuasaan, pengaruh, dan keuntungan materi yang terkait dengan jabatan bisa sangat menggiurkan, terutama bagi pihak-pihak yang sudah tidak lagi berkuasa.

Namun harga yang harus dibayar adalah terkikisnya prinsip-prinsip demokrasi yang pernah dijunjung oleh partai-partai tersebut.

Dengan meninggalkan posisi oposisi, partai-partai tersebut tidak hanya mengkhianati pendukungnya, tetapi juga berkontribusi terhadap kehancuran sistem demokrasi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top