PR Politik Jadi Humas Pemerintah: Antara Profesionalisme dan Konflik Kepentingan

Setiap peristiwa politik menghasilkan pemenang yang mendapat amanah memerintah pemerintahan. Tim-tim sukses yang berperan dalam meraih kemenangan seringkali ditarik menjadi bagian dari roda kekuasaan baik di tingkat pusat maupun daerah.

Hal ini ditunjukkan oleh beberapa individu yang sebelumnya aktif dalam tim sukses pemilu dan menduduki posisi strategis di berbagai kementerian dan lembaga.

Salah satu hal yang bisa dicermati adalah berubahnya peran profesional humas (PR).

Misalnya saja contoh nyata seperti Arya Sinulina, wakil tim sukses Jokowi-Ma’ruf yang menjadi staf khusus III Kementerian BUMN, atau Dahnil Anzar Simanjuntak, wakil koordinator Prabowo-Sandia yang menjabat sebagai staf khusus Menteri Pertahanan. . .

Politisi Faldo Maldini dari PSI, Staf Khusus Komunikasi dan Media, dan Hertzaki Mahendra Putra/BPN, perwakilan Partai Demokrat, Kepala Badan Komunikasi Strategis dan Staf Khusus Menteri Humas Kementerian Humas, juga turut serta. menunjukkan trennya.

Mereka menjalankan peran dan fungsi dalam kementerian atau lembaga, mengkomunikasikan kebijakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relevan.

Namun kenyataannya, peran mereka dalam pemerintahan tidak menghilangkan peran mereka dalam politik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan.

Di satu sisi, peralihan PR politik ke humas pemerintah dapat dilihat sebagai sebuah langkah positif. Pengalaman dan keahlian mereka dalam komunikasi dan pembangunan citra publik dapat berguna bagi lembaga pemerintah.

Di sisi lain, potensi konflik kepentingan tidak boleh diabaikan. Loyalitas mereka, terlepas dari partai politik atau kelompok suksesnya, dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja dan objektivitas mereka dalam menjalankan tugasnya di pemerintahan.

Ada beberapa faktor yang mendasari hubungan PR politik dengan masyarakat.

Pertama, kebutuhan pemerintah akan keterampilan komunikasi, profesional humas politik memiliki keterampilan komunikasi dan menciptakan citra publik yang kuat.

Pengalaman mereka dalam mengelola kampanye dan menciptakan narasi politik dinilai berguna bagi instansi pemerintah dalam mengkomunikasikan kebijakan dan menciptakan citra publik yang positif.

Kedua, kedekatan dengan elite politik. Persahabatan dan kepercayaan yang dibangun dengan elit politik selama kampanye membuka peluang bagi para profesional PR politik untuk mendapatkan posisi strategis di pemerintahan.

Ketiga, kebutuhan politik Pemerintah. Dalam negara demokrasi, pemerintah memerlukan humas yang efektif untuk mengelola hubungan masyarakat dan membangun dukungan politik.

Dalam mencapai tujuan tersebut, kemampuan humas politik dalam menciptakan narasi dan mengelola opini publik dinilai penting.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top