Mahkamah Konstitusi “Haram” Membentuk Norma

Menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi yang banyak diperdebatkan, saya tidak ingin menjadi pendukung atau kritikus.

Aku tidak merasa difavoritkan karena tidak memuji, dan tidak merasa dirugikan karena tidak mengumpat juga.

Selama ini kita melihat masyarakat selalu terbelah dalam menerima segala keputusan yang berkaitan dengan politik. Hal ini karena adanya perasaan suka dan tidak suka. Dan itu merugikan cara kita memandang kondisi bangsa ini, sehingga sulit bersikap objektif.

Bagi saya, keputusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini mengenai persyaratan pencalonan menunjukkan “keingintahuan” yang semakin serius. Dengan dalih pengujian standar, Mahkamah Konstitusi membuat aturan yang melampaui produk legislasi DPR dan Pemerintah.

Sebagai lembaga yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (UUD 1945), Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan yang terbatas.

Saat ini, tampaknya belum ada batasan yang jelas antara kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penyidik ​​dan DPR serta Presiden sebagai lembaga pembuat peraturan perundang-undangan.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak seperti legislator (positif legislator). Mahkamah Konstitusi merupakan pemeriksa hukum yang menguji konstitusionalitas suatu produk peraturan perundang-undangan, dan hanya berwenang menyatakan produk tersebut konstitusional atau inkonstitusional (negative legislator).

Sebagai pemeriksa, kewenangannya hanya sebatas “menegakkan” pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selebihnya rumusan perubahan dan penyempurnaannya ada di DPR dan Presiden.

Timbul pertanyaan, jika DPR dan Presiden tidak mau melakukan perubahan terhadap putusan MK, bagaimana penyelesaiannya?

Atau jika Mahkamah Konstitusi menyatakan suatu pasal bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, bagaimana jika terjadi kekosongan hukum?

Atau kalaupun MK merekomendasikan DPR dan Presiden untuk mengubah standar, namun DPR dan Presiden tetap menggunakan standar yang dibatalkan MK, apa jadinya?

Pertanyaan inilah yang kerap muncul dalam wacana kewenangan Mahkamah Konstitusi. Bahkan menjadi argumentasi bagi Mahkamah Konstitusi untuk membenarkan tindakannya dengan merumuskan standar tersendiri dalam putusannya. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi kerap dianggap sebagai cara cepat untuk mengubah aturan.

Hal ini menyebabkan Mahkamah Konstitusi kehilangan wibawa dan kejayaannya, karena dalam beberapa putusannya terdapat nuansa politik yang sangat kental, terutama pada putusan usia calon presiden dan wakil presiden yang pernah menimbulkan kegaduhan di seluruh Indonesia.

Gejolak tersebut terjadi karena Mahkamah Konstitusi menilai dirinya merupakan lembaga yang “paling berkuasa” dalam menentukan konstitusionalitas suatu peraturan dan hanya mereka yang dapat merumuskan aturan ketatanegaraan.

Menurut pendapat saya, setiap putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana diatur dalam pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi nomor 24 Tahun 2003, yang telah beberapa kali diubah. kali kali kali

Namun aturan yang mempunyai kekuatan hukum masih belum bisa serta merta langsung diterapkan setelah dibacakan dalam rapat paripurna terbuka untuk umum.

Dalam pasal 49, diberikan waktu tujuh hari kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengirimkan salinan putusan agar dapat dilaksanakan oleh para pihak sejak dikeluarkan.

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat langsung dieksekusi meskipun telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Apa jadinya jika para pihak (Presiden, DPR, lembaga negara lain yang terkait dengan aturan ini dan pemohon) tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi?

Berkenaan dengan hal tersebut, sikap para pihak adalah wajib menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kapan mereka melakukannya Pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah keputusan Mahkamah Konstitusi. resolusi.

Hanya apabila diumumkan dalam Lembaran Negara barulah hal itu dapat dianggap diketahui masyarakat dan baru mempunyai kekuatan perintah, atau dapat dilaksanakan.

Apabila masih menggunakan standar yang dinyatakan inkonstitusional setelah diumumkan dalam lembaran negara, maka tindakan hukum apa pun adalah ilegal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top