Menakar Kekuatan Protes “Peringatan Darurat” pada Era Mediatisasi Politik

Mungkin banyak yang bertanya-tanya: seberapa kuat aksi protes “Peringatan Darurat” menghentikan proses penyusunan dan pengesahan RUU Pemilu yang dituding membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang persyaratan pencalonan kepala daerah?

Jika aksi protes tersebut tidak memberikan dampak khusus, lalu mengapa muncul topik usulan pengalihan isu “MNS” ke jejaring sosial X?

Beberapa akun X, seperti @Jawafess dan @neohistoria, mentweet bahwa mereka menerima tawaran “pendek” pada malam tanggal 21 Agustus 2024.

Jika kebijakan politik bisa sepenuhnya diciptakan dengan membentuk koalisi besar partai politik di parlemen, maka mengherankan jika masih ada pertanyaan mengenai penempatan buzzer untuk menghentikan protes di media sosial?

Jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan sebuah konsep yang semakin populer akhir-akhir ini, khususnya dalam bidang ilmu komunikasi dan sosiologi, yaitu mediatisasi. Mediatisasi dan ketergantungan aktor politik pada media massa

Mediatisasi adalah sebuah konsep yang mengacu pada situasi di mana media dan teknologi komunikasi menjadi bagian integral dari kehidupan publik, termasuk komunikasi politik.

Mediatisasi politik mengubah struktur institusi politik dan aktivitas subjek politik sesuai dengan cara kerja media.

Perubahan struktur dan aktivitas tersebut antara lain terlihat dari banyaknya partai dan kandidat yang menggunakan jasa konsultan komunikasi politik dan melibatkan Zoomer dalam aktivitas politik.

Jika di masa lalu kampanye didorong oleh logika politik, seperti persaingan ide dalam debat, mediatisasi mendorong kandidat untuk mengikuti logika media, seperti mengikuti tren dance yang viral di media sosial atau berkolaborasi dengan pembuat konten.

Dalam artikelnya “Media, Power, Citizenship: The Mediatization of Democratic Change”, Katrin Woltmer dan Lone Sørensen berpendapat bahwa mediatisasi politik terjadi karena aktor politik terpaksa bergantung pada media karena saluran komunikasi politik tradisional melemah, seperti yang ditunjukkan oleh melemahnya saluran komunikasi politik tradisional. ketidakhadiran. . animo masyarakat untuk menjadi anggota partai politik dan rendahnya loyalitas pendukung terhadap calon dan kebijakan partai tersebut.

Survei Riset Kompas pada awal Agustus 2022 menemukan hampir separuh responden (47,8 persen) menyatakan tidak menyukai dunia partai politik baik sebagai anggota tetap, pengurus, atau bahkan sebagai calon partai politik. .

Generasi muda tidak memandang politik sebagai pilihan karir, bahkan cenderung menghindarinya karena dunia politik penuh dengan intrik.

Menurut Voltmer dan Sorensen, semakin bergantungnya aktor politik pada media untuk memobilisasi dukungan, semakin terkikis otonomi mereka dalam berhadapan dengan media.

Jika mereka tidak bisa mengikuti logika media, para politisi akan kehilangan popularitas dan relevansinya, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk menarik massa pada saat dukungan publik paling dibutuhkan: pemilu.

Dengan demikian, politisi masa kini harus berjuang tidak hanya di lembaga politik resmi, seperti partai politik dan parlemen, namun juga di jejaring sosial. Situasi ini menjadi semakin sulit di era media sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top