Amendemen Penguatan MPR dan/atau Pelemahan MK

AMIEN Rais, tokoh reformis, mengutarakan pendapatnya, bahkan menyerukan amandemen UUD 1945, salah satu tujuannya adalah agar partai MPR bisa memilih kembali presiden.

Singkatnya, hal ini dapat menjadikan MPR sebagai lembaga yang hebat. Tentu saja MPR akan mendefinisikan kembali Kerangka Haluan Negara (GBHN), dan presiden kembali menjadi mandat MPR.

Artikel singkat ini bertujuan untuk memprediksi apakah usulan amandemen tersebut akan terkonfirmasi, terutama dampaknya terhadap keberadaan mahkamah konstitusi yang seringkali menjadi harapan, namun dalam banyak kasus justru menuai kebencian dari masyarakat.

Majelis Permusyawaratan sebagai lembaga yang mengubah konstitusi dan menetapkan konstitusi tentu berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkannya. Jadi dalam beberapa hal pembentukan keduanya penuh dengan bahasa.

Jika kita kembali ke pendapat Fajrul Falaakh (2014), isi konstitusi dapat dilihat pada konstitusi (konstitusi harian parlemen) dan pada kasus konstitusional (konstitusi berfungsi sebagai sistem operasi yang tidak tertulis). Jelas konstitusi itu ada dan dibuat oleh MPR.

Ia juga menyatakan MPR telah mengambil keputusan tentang konstitusi (penafsiran konstitusi) di hadapan MK. Ia digantikan oleh MK yang terlahir sebagai pengulas undang-undang.

Oleh karena itu analisis terhadap reformasi penguatan MPR yang selama ini hanya berkait dengan presiden tidak lepas dari dampaknya terhadap MK. Balai Agung vs MPR

Ini adalah awal dari pekerjaan bahasa. Aula utama bisa dikatakan merupakan lembaga yang berada di latar depan dalam disahkannya amandemen ketiga Mahkamah Konstitusi.

RMAB Kusuma (2004) mencontohkan, dalam proses pembentukan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh BPUPKI, Yamin pernah menyarankan pembentukan pengadilan untuk melakukan judicial review atau membandingkan undang-undang yang bertentangan dengan hukum dan budaya.

Soepomo kemudian membatalkan gagasan itu. Alasannya antara lain karena Indonesia tidak mengikuti pemisahan kekuasaan seperti yang dilakukan di Amerika Serikat dan minimnya masyarakat yang memiliki pengetahuan hukum mengenai hal tersebut.

Sebaliknya, sebenarnya pada saat itulah terbentuk suatu struktur yang didalamnya terdapat semangat kesatuan. MPR merupakan pemegang kekuasaan tertinggi negara dan cermin kekuasaan rakyat.

Kehadiran Majelis Umum, jika disetujui, di hadapan MPR akan menjadi hal yang menarik, karena pihak yang menafsirkan konstitusi akan dengan mudah menang melalui pokok-pokok pandangan MPR.

MPR dalam beberapa waktu terakhir, terutama sejak masa demokrasi terarah (1959-1964) hingga undang-undang baru (1965-1998), banyak menjadi alat stempel bagi penguasa.

Ia mempunyai pemikiran yang buruk, namun pemikirannya tidak sebaik pemikiran presiden, sehingga lembaga ini sangat aman meskipun pada akhirnya dilemahkan oleh reformasi. MK dan MPR mempunyai kedudukan yang sama

Putaran kedua bahasa MPR dan MK adalah saat sistem ketatanegaraan berubah dari kekuasaan MPR menjadi konstitusionalisme. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi yang baru lahir mempunyai status yang sama dengan MPR.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top